Kata guru memiliki sintesa dan filosofi dalam bahasa Jawa yang menarik. Yaitu dari kalimat “Digugu lan ditiru”.
Digugu artinya, seorang guru memang harus bisa digugu alias perkataannya harus bisa dijadikan panutan. Karena apa pun yang dikatakan guru akan dianggap benar oleh muridnya.
Sedangkan ditiru adalah apa yang diucapkannya (pengetahuannya), semangatnya serta budi pekertinya harus bisa ditiru. Jadi, jika seorang guru hanya bisa mengajar tanpa memberi pelajaran budi pekerti, itu belum bisa dicap sebagai seorang guru.
Dari dulu sampai sekarang, guru masih termasuk dalam kategori profesi yang sangat mulia, pahlawan tanpa tanda jasa. Di dalam sanubari seorang guru selalu memikirkan bagaimana caranya mencerdaskan anak bangsa. Bagaimana caranya menciptakan generasi muda yang berguna bagi Nusa dan bangsa.
Semua dilakukannya dengan tulus tanpa pamrih. Kenapa? Karena upah yang diterima pun tidak sebanding dengan apa yang diberikan kepada muridnya. Belum lagi perlakuan-perlakuan murid yang tidak memiliki sopan santun dan menjunjung tinggi rasa tidak hormat terhadap guru.
Dapat kita lihat sekarang, murid-murid baik dari tingkat SD sampai perguruan tinggi hampir luntur rasa menghormati guru, rasa takut, rasa sopan santun berbicara dengan penuh kelembutan tutur kata yang baik. Semuanya sudah sirna. Entah apa memang pengaruh lingkungan, didikan keluarga, atau zaman yang sudah berubah. Sehingga nilai-nilai kebaikan tidak diikutsertakan.
Salah satu contoh, Ibu Nurmayanti, seorang guru biologi SMPN 1 Bantaeng yang resmi ditahan pada 12/5/16 lalu, karena mencubit salah satu muridnya.
Yang kedua seorang Guru Seni Rupa, Bapak Achmad Budi Cahyono yang dianiaya oleh muridnya lantaran tidak terima dicoret dengan pensil lukis.
Naasnya lagi, perlakuan muridnya telah menghilangkan nyawa Bapak Achmad Budi Cahyono pada 1/2/2016 malam setelah dianiaya oleh inisial MH di sekolah.
Sungguh luar biasa perbedaan murid zaman dulu sama sekarang. Dulu, ketika kita berbicara atau ngobrol pada saat guru sedang menjelaskan pelajaran di kelas, seorang guru sering melempar menggunakan penghapus. Atau, jika kuku kita panjang tidak segan-segan memukul menggunakan penggaris. Apa yang dirasakan pada saat itu cuma sedih dan malu. Tidak mungkin berani melawan gurunya.
Sesampainya di rumah ketika kita mengadukan perbuatan guru kepada orang tua, tapi tanggapannya justru kita akan diomelin kembali karena apa yang kita lakukan memang salah.
Tapi, sekarang orang tua justru berbuat kebalikannya. Padahal tidak mungkin seorang guru melakukan tindakan yang tidak terpuji tanpa sebab. Dan, itu masih dalam kategori wajar. Dulu orang tua percaya menitipkan anak-anak kepada guru di sekolah. Karena guru adalah orang tua kedua setelah orang tua kita sendiri.
Apa yang sebenarnya terjadi? Yang menyebabkan lunturnya nilai-nilai budi pekerti bagi sang pencari ilmu. Apakah karena orang taunya salah satu yang menjadi donatur? Atau, karena orang tuanya memiliki jabatan & kekuasaan? Sehingga pihak sekolah pun tidak memiliki banyak kekuatan untuk melindungi para pengajarnya.
Sehingga, sekarang guru hanya dinilai sebagai “Kuli”. Yang dibayar dan harus mengajar. Dengan alasan, karena orang tua pencari ilmu sudah membayar mahal untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Itulah yang menyebabkan salah satu rasa tulus seorang guru akan memudar juga.
Yang selama ini dalam benaknya hanya ada rintihan, bagaimana caranya melahirkan generasi yang tidak hanya pintar secara akademik, namun tetap bermoral, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan berbudi pekerti luhur.
Karena sekarang gerak seorang guru tidak sebebas dulu. Dibatasi ruang geraknya dalam menyampaikan pelajaran dan semacamnya. Karena jika salah gerak saja langsung dikasuskan. Guru bukan hanya pengajar, tapi lebih ke pendidik. Jika pengajar bisa saja seorang tutor. Tapi, kalau mendidik bukan hanya memberikan pelajaran, menyuruh, tapi lebih ke mengajak karena sendirinya pun melakukannya.
Semoga semua guru tetap pada tujuan utamanya, tetap pada panggilan jiwanya, tidak berubah haluan pada tujuan dan tidak mempunyai rasa ‘bodo amat’ dengan para pencari ilmu. Meskipun tidak sebanding apa yang diterima.
Tanpa seorang guru kita bukan siapa-siapa. Jika suatu hari nanti kita telah lulus dan memiliki tingkat kesuksesan melebihi guru, kita tetaplah menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan terhadap guru. Jadilah pencari ilmu yang bermoral, beretika, dan berakhlak mulia. Karena orang pintar yang tidak beretika bagai mencincang air.
#guruku motivatorku…